Puisi Sembilan

|

Jaya nusantara
Raharja alam manusianya
Gunungan budaya
Karya seni berlimpah

Tuhan maha cipta
Titipkanlah bijaksana
Jauhkanlah marabahaya
Amin harapannya

Membawa cinta di bara api meregut sisa
Matahari membiaskan bayang atas telaga
Bulan murung bermuram
Payung hitam
Mata hitam
Harapan hitam
Masa lalu hitam

Lukisan Tuhan terpojok pada dinding abu-abu
Menanti cemas kematian kelabu
Wajah membumi berharap kasih
Dosa kah terampuni

Duduk di pojok
Derai gerimis ada disana
Tetesannya membukakan luka
Kenangan terserak

Kasih, lukisan Tuhan terpojok pada dinding abu-abu
Tebal dan berdebu
Wajah rindu hantarkan pilu
Diantara kapal dengan dermaga yang berlabuh

Aku bersujud padanya
Sudah tak ku kira kali berapa
Kemudian ingatanku tertuju padamu
Mencoba mengikhlaskanmu

Ku kecewa pada diriku sendiri
Mencintaimu terlalu penuh arti
Kasih,
Masih sepikah hatimu untuk diri ini

Membawa cinta berada di kawah candradimuka
Menantikannya tetap dan mengapa
Pujangga diam
Hatiku hitam
Mataku hitam
Telingaku hitam
Lenganku hitam
Harapanku hitam
Kasih . . . . . . . putih

Tuhan maha cipta
Titipkanlah bijaksana
Jauhkanlah marabahaya
Amin harapannya

Kirana Kiranya*

|

Dia menatapku dalam-dalam, terlihat ada beban yang tak mampu dikatakan, matanya seperti berbicara, sepasang bola itu ingin mengucapkan berjuta, yang ku ingat hanya derai, hati yang terpisah telah terlalu dalam mengisi. Tapi itu hanyalah ingatanku yang terbentuk dari mulut orang, bukan mulut pemilik bola mata itu, atau mulut bola mata itu sendiri. Dan di malam yang basah karena hujan, aku masih menerka-nerka tentang beban dari tatapan sepasang bola mata itu.
                Siang  kemarin aku telah mengantarkan, dia masih saja diam, tak mau merelakan perpisahan dari pertemuan, genggamannya sangat erat ku ingat, kau tahu bukan, banyak kekasih yang mendekat, tapi mengapa hanya dialah yang mengikat, aku telah membuang jauh, cibiran mereka yang menatap kami seperti musuh, aku masih mencoba mengerti beban dari tatapan sepasang bola mata itu. Beban yang mungkin tercipta karena keputusanku.
                Maafkan aku, hai, pemilik sepasang bola mata terindah. Bicaralah, supaya perpisahan ini menjadi indah. “Ku tak ingin melepasmu, ku ingin selalu bersamamu, aku ingin memelukmu, aku ingin menciummu, aku ingin menyetubuhimu, aku ingin . . . .  aku ingin . . . . . . . . “ Gelegar, suara petir menyambar membuyarkan khusyuk lamunan ku, rokok yang tadi ku hisap kini telah mati dengan api yang lenyap. Sepi, kenapa ia tak pernah bicara.
                Entahlah, darimana datangnya suara petir itu. Padahal dia diam. Aku diam. Sepi. Namun tiba-tiba bergemuruh. Mungkin kata benakku sendiri. Dan meski malam semakin malam, namun dia belum kunjung bicara. Buatku jadi gila; berbicara dengan prasangka.
                Aku menutup lembar diari, berharap kenangan pergi tak datang lagi, tapi sepasang mata itu selalu menghampiri dalam mimpi, salah apa, kutukan apa hingga kini aku sealu berhalusinasi, bibirnya yang tersenyum tak pernah bicara, sejak itu, setelah itu, malam gerimis itu. Pelukan yang belum pernah melingkar, ciuman yang tak pernah memagut, dari seorang bermata indah yang kucintai, biarlah menjadi kisah yang belum bisa dilanjutkan lagi. Dan aku harus menutup lembar diari… sementara ini.
                Bukan karena cibiran yang membuatku menutup diari, dan bukan karena status yang membuatku mengakhiri. Tapi karena aku benar-benar mencintainya. Kirana, perempuanku yang bermata indah, perempuanku yang menyembunyikan diri dalam lumpur, biarkan aku mengambil jarak darimu. Aku berjanji; suatu saat aku akan kembali dan menyelamatkanmu.
                Kirana dan aku bertemu di suatu waktu, disaat kekalutanku tak menyatu, cinta apa yang telah ku berikan diatas ranjang, senyuman setan dan nama Tuhan yang kupersumpahkan, aku berjalan tanpa tujuan, terhenti saat Kirana meminta suatu keputusan, sedangkan sepasang bola mata telah basah, ia menatap ratusan lelaki dengan menyimpan satu hati. Ya, aku tahu benar ia menyimpan satu hati, dan itu adalah hatiku yang juga menyimpan hatinya meski baru pertama bertemu.
                Aneh, ketika mataku dan matanya beradu pandang, aku seperti merasa sudah mengenalnya. Entah dimana, kapan, di kehidupan mana. Mungkin sebuah de javu. Dan aneh, bagaimana aku bisa dengan cepat menyimpan hatinya saat pertemuan pertama, di suatu waktu itu.
                Aku masih ingat betul, di suatu waktu itu, malam berjalan begitu lambat. Sampai ketika mulutnya bicara, menghentikan aksi pandangan mata.
                “Sudah satu jam. Jadi pake saya nggak?” Suara berat dan canggung keluar dari mulut Kirana, minta keputusan. Aku hanya diam. Tak berani memutuskan. Lalu dia diam. Aku dan dia berdiam-diaman lagi.
                Baru sampai saat matanya basah, aku mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan ribu. Meletakkan diatas meja. Lalu bilang; besok aku kemari lagi…, dan memutuskan untuk melenggang pergi.
Sepasang bola mata yang basah terlalu banyak bicara, seolah-olah tau arah dan maksud kemana, sejak itukah, saat tumpukan rupiah  ditubuhnya aku  mulai mencintainya, ataukah sejak sepasang bola mata cokelat itu basah.
“Aku tau aku bukanlah orang yang pertama, aku hanya ingin menjadi yang terakhir untukmu” saat kukatakan hal itu matanya masih basah, malah semakin menjadi, ia hanya berucap sambil memelukku “Aku telah mendengar seribu janji yang telah diingkari, biarkanlah kita tetap begini”.
Dia menatapku dalam-dalam, terlihat ada beban yang tak mampu dikatakan, matanya seperti berbicara, sepasang bola itu ingin mengucapkan berjuta, yang ku ingat hanya derai, hati yang terpisah telah terlalu dalam mengisi. Tapi itu hanyalah ingatanku yang terbentuk dari mulut orang, bukan mulut pemilik bola mata itu, atau mulut bola mata itu sendiri. Dan di malam yang basah karena hujan, aku masih menerka-nerka tentang beban dari tatapan sepasang bola mata itu.
                Siang  kemarin aku telah mengantarkan, dia masih saja diam, tak mau merelakan perpisahan dari pertemuan, genggamannya sangat erat ku ingat, kau tahu bukan, banyak kekasih yang mendekat, tapi mengapa hanya dialah yang mengikat, aku telah membuang jauh, cibiran mereka yang menatap kami seperti musuh, aku masih mencoba mengerti beban dari tatapan sepasang bola mata itu. Beban yang mungkin tercipta karena keputusanku.
Tapi aku harus menutup diari, tentang catatan kisah yang tak pernah terjadi. Dan diari harus tertutup tatkala aku sadar. Tatkala efek pil dari diskotik semalam telah berakhir. Efek yang membuatku gila; menatap cermin, memandangi bola mataku sendiri, dan membuat cerita yang kukarang-karang dari halusinasiku.
“Kirana…. Kirana….” Kudengar sayup-sayup suara Ibu memanggilku.

*Bersama Rahman Yaasin Hadi

Puisi Delapan

|

Dengan tanda tanya
                        Bertanya tanya
Sejauh manakah impian mampu bertahan
                        Bila di tekan-tekan
Dengan tanda seru
                        Berseru – seru
Sejauh manakah niat tersampaikan
                        Bilakah laksanakan

Hingar bingar, rakyat luka dinganga duka
Bertahan pada pinggiran
Menunggang kesewenangan
Nasib kemanusiaan
Urusan penindasan

Hanya saja kau tau
Hidup tak selalu seperti diajarkan
Apalagi dicitakan
Ringkih impian

Dengan tangan tenadah
                        Berdoa doa
Sejauh manakah harapan terkabulkan
                        Bila tanpa kesungguhan
Dengan kepala tertunduk
                        Terisak isak
Sejauh manakah pahala dan dosa
                        Membentuk keseimbangan

Puisi Tujuh

|

Sepertinya aku diam
Dan engkau berbicara
Lewat apa
Suara didengarkan

Menjadi kamu
Seperti aku
Dengan apa
Bersatu

Foto buram kenangan
Pikiran masa depan
Seperti apa dilewatkan

Sana
Ujung mata nanar berdarah
Tangan tergenggam memerah
Sini
Tangisan dalih keceriaan
Saling fitnah penuh kebencian

Kesenian
Menentang penindasan
Kesewenangan
Memperingatkan

Sepertinya aku diam
Dan engkau banyak bertanya
Lewat apa aku memberikan jawaban

Menjadi kamu
Tanpa aku
Percayalah penuh

La la la la la la la la la la la
Kenapa bertanya begini
La la la la la la la la la la la
Mengapa melakukan begitu
La la la la la la la la la la la

Dimana kesenian
Menentang penindasan
Kesewenangan
Memperingatkan
Pesanan
Pepesan

La la la la la la la la la la la
Untuk apa merenung
Jika dapat tersenyum dengan topeng
Maksud terselubung
La la la la la la la la la la la

Buat apa kesenian
Menentang penindasan
Kesewenangan
Memperingatkan
Pencaharian
Kekenyangan

Puisi Enam

|

Coretan
Berhak meminta dibacakan
Coretan
Berwajib meminta pertanggungjawaban

Kebebasan
Kebablasan
Keterikatan
Kemunafikan

Gulali gulala gulalu
Kembali bergegaslah berlalu

Coretan
Tulisan
Dimana keteraturan
Bicara kenyataan
Dimana khayalan
Bicara kejujuran

Asi asa asu
Disini disana anu

Tuan meminta melayu
Puan meminta merayu
Coretan ciptakan
Tulisan indahkan

Puisi Lima

|

Hai                                                                                                                 
Hanya ingin menyapa dan menanyakan
Apakah bayangku masih ada di kenangan
Dan bukan menjadi debu beterbangan

Hai
Untuk ucapkan salam bukan perpisahan
Ceritakan kembali hal indah terlewatkan
Duduk berdua dengan obrolan

Cinta yang membawamu datang
Cinta yang membawamu pergi
Untuk orang berbeda

Hai
Ingatkah
Kita pernah berdua
Mabuk dari cawan yang sama

Hai
Petikan gitarku lelapkanmu
Dan mengigaukan namaku
Memandangi wajahmu tersipu

Cinta yang membawamu datang
Cinta membuatmu hilang
Untuk setiap orang

File_X . . . (2)

|
#Ethan
“Memikirkan masa depan adalah hak dan kewajiban setiap kita, menjalani masa kini adalah kewajiban setiap kita, mempelajari masa lalu merupakan hak kita, sudah lebih dari seratus lima puluh tahun lalu, panen dan pancaroba telah dilewati bersama dengan kita, manusia memanusiakan manusia, manusia memuliakan manusia, berilah kita tempat dengan sebaik-baiknya, sebelum memanusiakan manusia, sebelum memuliakan manusia, seluruhnya telah diberikan kesempurnaan” suara pemuda memecah sunyi diantara ribuan orang yang memadati suatu pelataran, takjub mendengarkan suara yang begitu indah dan syahdu. Mereka menyaksikan seakan menghadapai sidang para nabi, saling khidmad mengikuti, saling memiliki, kepercayaan dengan lainnya.
“Kita makhluk pilihan, berlakulah dengan laku yang terpilih, ketika terlupa ingatlah selalu Yang Maha Tinggi, dengan inilah kehidupan kita akan terjaga, mencintai alam tempat kita tinggal tugas wajib, bukan imbauan ataupun slogan, ibadah kepada Yang Maha Tinggi bentuk kecintaan , bukanlah sebuah bentuk keingininan mendapatkan pandangan apalagi menjadikannya pencaharian, bukankah sudah sangat banyak contoh yang telah ditunjukkan untuk ditujukan kepada kita, marilah kita memikirkannya dan merenunginnya”, ia melipat tangannya, terlihat juga kakinya dilipatnya, duduk bersila, beberapa pasang mata tak berpaling, bertambah sedikit demi sedikit, tak berbicara, terkesima, mendengarkan dan mengangguk.
Ia, seorang pemuda, dua puluh tahunan, tak ada istri disisinya, seorang pemikir dalam kesepian, selalu bertanya atas ketimpangan kehidupan, mencari-cari arti kebenaran dan keadilan dengan realita, belajar dari alam, manusia dan lingkungan yang menyatukan keduanya, sikapnya, alamiahnya.
“Selamat selamatlah selalu, terberkatilah engkau keturunan Marsan, anak yang memiliki pekerti yang baik, tanpa ayah namun beribu, memandangmu dengan berbagai penafsiran, Yang Maha Tahu sudah menghendakinya, kejadianmu, bentukmu, masa depanmu, Jabriel membanggakanmu, terpujilah selalu hidupmu”. Suara sorak sorai gaduh para orang-orang yang menyaksikannya, berulang-ulang berbunyi seperti mantra.
Sambil menenangkan ia berujar “Aku hanyalah manusia sama seperti kalian semua, tiadalah beda antara aku dan kamu sekalian, kita adalah ciptaan, aku bukan yang suci dan tak mau menjadi yang suci, ku hanya ingin selalu menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan”.
“Kamu adalah ia, manusia yang kami nantikan Ethan putra Marsan, engkaulah penyelamat dunia ini kelak, ku akan menceritakan padamu tentang “cerita tentang Marsan”, wanita perawan yang melahirkan dirimu Ethan dengarkanlah baik-baik”, seorang lelaki diantara mereka maju kemudian menceritakan padanya.
Inilah ia, cerita tentang Marsan .
“”Suatu malam, malam yang dijanjikan, wanita itu berpeluh didampingi dengan sepupunya bernama Zariya, mereka mendatangi sebuah gubuk yang didiami oleh Johannes, malam itu, bintang sangat indah dilangit, cahaya memancar untuk bumi, wanita itu akan melahirkan seorang anak yang kelak kalian kenal ini, terpujilah apa yang terjadi pada malam itu.
Jabriel menyaksikannya dengan menjadi seorang tani gandum, ia mengenakan pakaian compang-camping memasuki rumah itu, turut dalam prosesi, ia mendengarkan jeritan pertama bayi itu, hanya berempat saja menyaksikan kelahirannya, Ethan anak Marsan, tiada berbapak hanya beribu.
Begitu cepat tersiar kabar, Marsan telah melahirkan, dahulu kehamilannya adalah pergunjingan sekarang kelahirannya menjadi pujian, karena proses terciptanya yang tak biasa dikalangan manusia, lahirlah ia seorang lelaki yang kelak diberikan nama Ethan.
Malam itu, teranglah bintang dilangit, sejuklah udara di bumi, ialah ibu yang mengikhlaskan titipan daripada Yang Maha Agung dalam rahimnya, saat itu Yang Maha Tinggi menunjukkan keajaibannya pada manusia, dengan perantaraan Jabriel, tumbuhlah benih yang menjadi harapan kemanusiaan, kelak menjadi anak yang bernama Ethan.
Demikianlah cerita tentang kelahiran Ethan anak Marsan, proses penciptaannya oleh penciptanya adalah hal yang sangat luar biasa, bagaimana perawan melahirkan manusia, Ia yang Maha Tinggi mengutus Jabriel sebagai perantaraannya, Jabriel berkata “ Hai Marsan, kelak engkau akan mengandung seorang anak manusia, ia nya akan menjadi teladan diantaranya, maukah kamu menerimanya?”, Marsan menjawab “Bagaimana aku dapat mengandung sedangkan belum ada seorangpun lelaki menyentuhku”, Jabriel melanjutkan kata-katanya “Demikianlah, sesungguhnya semuanya mudah bagi Yang Maha Agung untuk melakukan sesuatu, terjadi maka terjadilah ia”. Marsan berpeluh pada saat itu, air mengaliri pipinya yang menjadi pucat, ia meraba perutnya seperti ada sesuatu yang memasuki rahimnya. Ia dongakkan kepalanya kelangit, hanya seekor merpati yang menjauh yang terlihat menjadi sangat kecil sampai menghilang dari pelupuk matanya.
Yang Maha Pencipta memberikan ciptaannya melalui keajaiban, mengapa aku harus heran, bukannya sudah banyak keajaiban terdahulu sebelum aku, ia kemudian menuntaskan keheranannya dengan menyandarkan kepalanya pada pohon yang tak jauh dari tempat duduknya.””
“Demikianlah kisah tentang Marsan, engkau telah mendengarkan dengan baik bukan? Demikianlah yang telah terjadi”.
“Tapi Bapa, aku bukanlah Ethan anak Marsan, aku adalah Ethan, . . . . . . .” ia memegangi kepalanya, tiba-tiba ia tak dapat mengingat apapun tentang asal usulnya, ia hanya melihat sesosok bayangan yang telah menyelamatkannya dari suatu peristiwa bencana. . . . . . . . .

Ribuan Tahun Kemudian . . . . . .
Suatu ketika, disuatu senja yang indah,  sinar jingga kuning diangkasa, sepasang mata menatap, dipangkuannya benda seperti kitab, sudah usang, tampak sangat tua, lelaki paruh baya menikmati berakhirnya hari, air seduhannya telah habis, suara tepukannya kemudian mengantarkan cangkir kosong menuju dapur.
Siulannya menutup tirai jendela, atap nya terbuka, kini bintang angkasa menghiasi langitnya, disebelah ranjangnya tergolek seorang wanita paruh baya juga, putih bersih kulitnya, hitam terurai rambutnya, terlelap, dipandanginya sambil sesekali melepaskan pandangannya kedepan, bulan purnama yang sangat indah terlihat di depan matanya.
Ia teguk air didalam botol, warnanya kecoklatan pekat, pandangnya menjadi memudar, ia lepaskan benaknya kelangit, “Aku mencintai dirimu seperti aku sendiri, apapun telah terlewati kita kan menghadapinya untuk akan datang, ku akan berjanji”. Wajah itu, wanita yang dikenalnya dahulu saat ia semester ketiga program sarjana.
Diatas tanahnya kini berdiri rumah mewah, dengan puluhan penjaga, tentu saja ia bukan raja, ia hanya manusia biasa, dengan gaji ia bisa menyewa seluruhnya bukan? Namun tidak demikian, mereka mematuhinya seperti Tuhan, bersujud dan menyembah, hanya cara saja berbeda dengan nama penghormatan.
Ia lelap ditidurnya, terlalu banyak alkohol menjadikannya memasuki mimpi yang tak dapat lagi diaturnya, seperti malam pasrah menantikan mentari ufuk timur, banyak perubahan dari tahun ketahun sampai ke beberapa ratus tahun kemudian.

#Gunung Raga
            Terlalu banyak pohon yang sangat besar terletak berjejer rapi menutupi, binatang terjaga sangat luas saling memangsa dan menunggu kesempatan, matanya menyala, auman terdengar sesekali, seperti hendak mengusir sesuatu atau menampakkan diri, keadaan sesuatu yang dianggap ada.
            Disana terlihat sesesok manusia, duduknya bersila, tangannya tengadah kelangit, berucap pada langit tak berhenti, hujan membasahi rambutnya yang putih, kini telah genap empat puluh hari ia lakukan hal itu tanpa henti, hanya suaranya saja kini tak terdengar segarang hari pertama.
            Ia menunggu sahabat karibnya, sahabat yang tak bertemu dengannya begitu lama, dua puluh tiga tahun sejak perpisahannya, akan bertemu kembali setelah perpisahan.
            Pelukannya begitu dekap, saat perpisahannya, air matanya tak mampu ia tahan, mengucur dari kedua bola matanya, -
            Disini, di tempat buas ini, hanya beberapa saja manusia tercatat pernah melewati puncaknya, ia salah satu dari itu, masih menanti, menanti sahabat lamanya.
            Inilah waktunya, waktu janji yang diikrarkan, tepat purnama ketiga belas, ia sanggupi tanpa persyaratan saat lalu, menunggu untuk suatu pertemuan pastinya tak akan menjemukan, apalagi perjanjian tanpa ikatan.
Pada pejam matanya ia dibangunkan oleh sebuah suara.
“Engkaukah itu Silama, sahabatku, ?, ah, engkau itu saudaraku, telah banyak berubah dirimu, raut wajahmu, rambutmu yang memutih”
“Ah, engkau sudah tiba, sahabatku, Jirawa, memangnya kau masih terlihat muda selalu?”
Suara tertawa kemudian membahana di hutan yang sangat sepi itu, di situ puncak gunung Raga.
Gunung Raga hanyalah salah satu dari ratusan gunung yang tersebar diseluruh penjuru dunia, gunung ini merupakan rangkaian dari gunung berapi yang masih aktif yang ada didunia, terakhir kali letusannya memberikan dampak yang sangat luas. Musim panas menjadi dingin karenanya, matahari tak tampak dalam ribuan tahun saat lalu, berjuta juta tahun lalu.
“Apa kabar sahabatku, hingga engkau membawaku ditempat seperti ini dengan waktu yang telah engkau tentukan sendiri”.
“Yang Maha Tinggi lah yang telah menentukan semuanya Silama, Dialah yang telah membawaku kemari, kabar yang aku bawa adalah selalu kegundahan seperti dahulu yang telah lama kita kenangkan, bukannya engkau juga mengetahuinya, aku dan kamu juga tak pernah berubah, hahahaha” tawa lepas nya terdengar.
“Kegundahan mencapai tujuan kesempurnaan kemanusiaan itu dibutuhkan selalu agar hidup ini berjalan baik sahabatku, aku juga seperti itu, duduklah, mengapa engkau masih berdiri dengan tongkat yang memincangkan kakimu itu” Silama menjawab dan mempersilahkan sahabtnya itu untuk duduk disampingnya.
Jirawa kemudian duduk tepat dihadapan sahabatnya Silama, kemudian menyalakan rokok di tangannya.
“Semakin ramai akhir-akhir ini, aku merasakan manusia merasa dirinya orang suci, bersuara dengan suara lantang dengan kelakuan yang sangat timpang dengan ucapannya, semakin banyak orang memberikan derma hanya untuk dipandang sesamanya, akal sehat dituduh sakit jiwa, hendak menolong dengan sebenarnya mengharapkan pamrih batasannya sungguh hampir tak terlihat jelas sahabatku” Jirawa membuka dialog secara singkat pada sahabatnya.
“Tuhan menentukan semuanya sahabatku, itu semua adalah jalannya, apapun ketentuannya semuanya ia miliki, itu adalah bentuk kepasrahan kepada sesuatu yang Maha di dalam hidup manusia. Oleh karenanya ia membutuhkan aliran kepercayaan, bermacam-macam jumlah dan aneka bentuk nya”, Silama menjawab pembukaan dialog sahabatnya itu.
“hmmm, yah memang seperti itu, bagaimana dengan pengantar suratku yang telah dikirimkan padamu?, sudahkah engkau memahami seluruhnya? Itu juga salah satu kegundahanku, mengertikah engkau sahabatku?” Jirawa menanyakan kegundahannya, suara geluduk terdengar sesekali dari puncak.
“Ya, kota itu, kota impian, perebutan, perdamaian, permusuhan, persinggahan, keabadian, sangat dipertaruhkan, persamaan, perbedaan lahir dari sana, tujuan utama, tujuan mulia, kejaayaan lahir padanya, aku akan menceritakan sedikit yang aku ketahui tentang itu”.
“Saat ku melintasinya, tembok seluruhnya dilapisi, kepercayaan pada yang Maha Tinggi dibesarkan menjadi tempat tujuan, tembok hampir seluruhnya dilapisi tembok tu sekelilingnya, aku melihat, jauh didalam sana hati mereka adalah satu, kepercayaan dari jalan yang berbeda-beda, mereka yakin perbedaan rahmat terbesar dari yang Maha Tinggi, tapi ajaran kepercayaan pastilah terbagi, begitulah  sejarah kota suci itu terbentuk yang terbaca lewat manuskrip kuno”.
“Kemudian anak-anak mereka tumbuh berbeda, saling mendendam, saling membunuh, saling menghujat, kota itu ribuan tahun lamanya di bangun berdarah-darah, Kota suci itu, bernama Tanah Tinggi Aswa” suara Silama terhenti, sembari mengingat hal yang telah pernah ia lewati sebelumnya.
“Tanah tinggi Aswa Silama?” Tanya Jirawa penuh keheranan.
“Ya, Jirawa, itulah nama yang diberikan oleh para pendahulu mereka, kota itu ditinggali dua suku besar, yakni Suku Isra dan Suku Tina. Kota nya para orang-orang suci, selalu ditinggikan oleh mereka-mereka yang memiliki aliran kepercayaan. Itulah takdir Tuhan yang diberikan dari maha Tinggi kepada mereka, nasib mereka padahal dapat hidup dengan kedamaian”
“Takdir Silama, Takdir iu bukankah berasal dari ketakutan dan kepasrahan, nasib berasal dari keseungguhan dan keberanian, selalu meratapi takdir tidaklah baik, terlalu menaruh penuh kepada nasib juga tidak baik, harusnya lah menyeimbangkan”
“Hmmm, baiklah sahabatku, ku kira engkau telah memahaminya dengan baik, demikianlah cerita yang kuketahui tentang tanah perjanjian itu, tapi aku pernah membaca dari manuskrip kuno, kalau nanti disuatu saat, Tanah tinggi Aswa akan berdamai di bawah pimpinan seseorang yang merupakan keturunan dari mereka, tapi nama itu tak disebut dalam manuskrip itu” Silama kemudian berdiri dari duduknya, merapikan baju lusuhnya dan meraih tongkat yang sedari tadi ia tancapkan didekatnya.
“Akan kuceritakan padamu kisah yang luar biasa, pernah aku saksikan sendiri dan aku ikuti dari mulut ke mulut, dari mata ke mata yang mereka dengar dan apa yang mereka lihat, kisah ini sekarang hanya melegenda di benak-benak mereka” Silama berjalan pelan yang kemudian diikuti oleh Jirawa disampingnya.. . . . . . .


#Ujung
            Menikmati kedamaian, gelombang cinta saling bertalian mempererat kasih dan sayang, bencana datangnya dari diri sendiri, lalu kita maki sendiri.
            Siang ini akan ada pengumuman titah dari istana Agung Darma, telah dari pagi orang-orang mulai berdatangan menuju alun-alun, saat ini telah hadir ribuan orang yang ingin menyaksikan raja mereka yang baru, memang belum lenyap duka kerajaan ini begitu juga dengan jutaan rakyatnya tentang wafatnya raja mereka dua minggu lalu, mereka kini hadir didasari keingintahuan  siapakah yang akan menggantikan rajanya terdahulu yang terkenal sangat bijaksana. Tiga jam dari sekarang mereka akan segera mengetahuinya.
            Tiga minggu sebelumnya, . . . . . . . . . . . . . . . . .
            “Kalian dengar kan? Raja tak mengikuti hasil keputusan sidang para nabi, ia bilang tak ada baiknya mengikuti hasil keputusan sidang para nabi dan memperbaharui kitabnya, semakin lama semakin sedikit mengikuti keputusannya, bahkan kalian tau sendiri, patih Raksana kini tak patuh padanya?”   Gubernur Utara menuturkan pada Gubernur lainnya, terlihat hadir disana membentuk lingkaran, masing-masing, Gubernur Barat, Gubernur Timur, Gubernur Barat Laut, Gubernur Timur Laut.
            “Ya, aku mendengar, sudah sampai berita itu diseluruh kerajaan ini, kini telah muncul pergolakan yang luar biasa, karena dasar dari negeri ini dibangun orang-orang yang religious, tentu saja mereka menolaknya dengan keras, bukan begitu Gubernur Timur, di daerah mu terdapat sangat banyak para pendeta-pendeta dari kepercayaan Santi, bahkan itu tempat lahirnya, mereka juga memiliki orang suci yang menjadi perwakilannya, Nabi Santo?”. Gubernur Barat menanggapi dan melontarkan pertanyaan pada Gubernur Timur.
            “Hmmmh” Gubernur Timur mendeham sambil mengenyitkan dahinya, “Memang benar, bahkan sebagian besar masyarakatku sudah tak menginginkan lagi menjadi bagian dari kerajaan, suara-suara berpisah semakin sering terdengar, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa, raja telah menunjukkan menjadi wakilnya, aku harus patuh dan taat padanya”. Gubernur Timur membetulkan posisi duduknya, membenarkan posisi tangannya.
            “Aku mengikuti apapun langkah yang akan engkau pilih kakanda ku, selalu ku akan berada di belakangmu” penuh kepercayaan Gubernur Timur Laut menyatakan kesanggupannya kepada kakandanya Gubernur Timur.
            “Kita bisa berdiri sendiri saudaraku, apa yang engkau risaukan, sumber daya alam sangat banyak pada wilayahmu, tentu saja engkau dapat menjadi Raja nantinya, tentu saja dengan kami-kami ini akan menjadi menteri-menterimu, sudahlah, apa lagi yang engkau takutkan, kamu akan mendapatkan kekuasaan, kekayaan, kehormatan, ayolah saudaraku, apalagi telah kau dengarkan suara dari rakyatmu sendiri”. Kali ini Gubernur Barat angkat bicara
            “Benar, kami akan membantumu saudaraku jika engkau membutuhkan kami” Suara Gubernur Barat Laut menambahi.
            “Sebentar, aku dengar juga kalau Gubernur Tenggara, Gubernur Selatan, Gubernur Barat Daya telah memberikan surat pengunduran dirinya pada raja, sejauh ini, berita yang aku dengar sudah terjadi pertumpahan darah disana, antara orang yang mendukung keputusan raja dan yang tidak mengikuti keputusan raja, ketiga Gubernur tadi mundur karena merasa tak mampu lagi mengurusi wilayahnya sendiri” sambil menunjukkan surat kabar dengan Headline “tiga gubernur mundur, kerajaan diambang hancur” Gubernur Utara melanjutkan omongannya.
            “Tiga Gubernur itu telah mundur, bukannya mereka juga telah diangkat dan ditunjuk oleh raja, mereka mengingkarinya bukan, sah-sah saja, memang sudah tak bisa mau bagaimana, namun mereka tidak berani untuk memisahkan diri, untuk itulah engkau ku undang saudaraku Gubernur Timur, dan engkau saudaraku Gubernur Timur Laut, agar kita dapat melangkah bersama membuat kerajaan baru, harapan baru di kerajaan yang sudah tidak tenang ini, Patih Reksana juga menyetujui putusan mu jika memisahkan diri dari kerajaan ini, beliau malah sangat menyarankan”
            “Tapi tidak semudah itu Gubernur Utara, aku telah mengucapkan sumpah kepada Yang Maha Tinggi untuk selalu setia dan patuh pada sang raja bagaimana mungkin aku akan melakukan pengkhianatan” keraguan mulai muncul dari ucapan Gubernur Timur, disampingnya Gubernur Timur Laut memandangi kakandanya.
            “Untuk itulah kami ada disini, untuk melancarkannya, untuk membantumu saudaraku, bukankah dibolehkan kita memisahkan diri dari kerajaan jika raja sudah tidak mendengarkan apa yang menjadi aspirasi dari rakyatnya” bujukan diilakukan Gubernur Barat, diikuti senyuman dari Gubernur Utara dan Gubernur Barat Laut.
            “Baiklah, berilah waktu orang tua ini untuk berpikir, tiga minggu lagi ku akan memberikan kabar pada kalian semua, mari adikku, antarkan kakandamu ini menuju kereta, kita akan pulang” Ia meletakkan padangannya pada adiknya, adiknya yang selalu setia padanya Gubernur Timur Laut.
            Perjalanan pulangnya, di dalam kereta yang berjalan, di sela dengus kuda yang semakin memburu “ Kakanda menaggapi serius usulan dari Gubernur Utara dan lainnya tadi “ ia bebrbicara pada kakaknya sambil memandangi  kekalutan yang terlihat samar di matanya.
            “Entahlah adikku, tapi kata-kata mereka ada benarnya juga, toh juga kita memiliki sumber daya melimpah, tentu saja rakyat kita akan semakin makmur, dapat mencicipi hasiol buminya sendiri tanpa berbagi dengan lainnya, dapat berjuang bersama-sama”. Gubernur Timur Laut menjawab pertanyaan adiknya sambil melihat jemdela.
            “Tapi kakanda, bukankah kita telah bersumpah dan kerajaan ini warisan leluhur kita untuk dititipkan pada kita” seolah tak percaya dengan jawaban dari kakandanya Gubernur Timur Laut menatap kakandanya penuh keseriusan.
            Di luar sana, terlihat banyak orang turun kejalan, sekali-kali dilewati mereka berdua, kusir kereta masih terus melaju, dengu kuda semakin memburu, jarak masih sangat jauh. “ Kita lihat saja nanti, biarkan kakandamu ini berpikir”, Gubernur itu memanggil es dalam kotak dan menuangkannya, meminumnya,
            “Aku selalu senang jika ke wilayah utara, es ini selalu sangat enak di minum kapan saja, minumlah adikku, agar berhenti engkau memandangiku  dengan tatapan seperti itu”.
            Kereta kencana terus berjalan, pean-pelan menjauh, Kota Hitam dan Putih tempat raja berada sudah dilewati tanpa disinggahi. Istana Agung Darma terlihat sekilas saja, penjaga tak ada yang mengenalinya, apalagi peduli.

*Dalam Tahap Penyelesaian