#Ethan
“Memikirkan
masa depan adalah hak dan kewajiban setiap kita, menjalani masa kini adalah
kewajiban setiap kita, mempelajari masa lalu merupakan hak kita, sudah lebih
dari seratus lima puluh tahun lalu, panen dan pancaroba telah dilewati bersama
dengan kita, manusia memanusiakan manusia, manusia memuliakan manusia, berilah
kita tempat dengan sebaik-baiknya, sebelum memanusiakan manusia, sebelum
memuliakan manusia, seluruhnya telah diberikan kesempurnaan” suara pemuda
memecah sunyi diantara ribuan orang yang memadati suatu pelataran, takjub
mendengarkan suara yang begitu indah dan syahdu. Mereka menyaksikan seakan menghadapai
sidang para nabi, saling khidmad mengikuti, saling memiliki, kepercayaan dengan
lainnya.
“Kita
makhluk pilihan, berlakulah dengan laku yang terpilih, ketika terlupa ingatlah
selalu Yang Maha Tinggi, dengan inilah kehidupan kita akan terjaga, mencintai
alam tempat kita tinggal tugas wajib, bukan imbauan ataupun slogan, ibadah
kepada Yang Maha Tinggi bentuk kecintaan , bukanlah sebuah bentuk keingininan
mendapatkan pandangan apalagi menjadikannya pencaharian, bukankah sudah sangat
banyak contoh yang telah ditunjukkan untuk ditujukan kepada kita, marilah kita
memikirkannya dan merenunginnya”, ia melipat tangannya, terlihat juga kakinya
dilipatnya, duduk bersila, beberapa pasang mata tak berpaling, bertambah
sedikit demi sedikit, tak berbicara, terkesima, mendengarkan dan mengangguk.
Ia,
seorang pemuda, dua puluh tahunan, tak ada istri disisinya, seorang pemikir
dalam kesepian, selalu bertanya atas ketimpangan kehidupan, mencari-cari arti
kebenaran dan keadilan dengan realita, belajar dari alam, manusia dan lingkungan
yang menyatukan keduanya, sikapnya, alamiahnya.
“Selamat
selamatlah selalu, terberkatilah engkau keturunan Marsan, anak yang memiliki
pekerti yang baik, tanpa ayah namun beribu, memandangmu dengan berbagai
penafsiran, Yang Maha Tahu sudah menghendakinya, kejadianmu, bentukmu, masa
depanmu, Jabriel membanggakanmu, terpujilah selalu hidupmu”. Suara sorak sorai
gaduh para orang-orang yang menyaksikannya, berulang-ulang berbunyi seperti
mantra.
Sambil
menenangkan ia berujar “Aku hanyalah manusia sama seperti kalian semua,
tiadalah beda antara aku dan kamu sekalian, kita adalah ciptaan, aku bukan yang
suci dan tak mau menjadi yang suci, ku hanya ingin selalu menemukan jawaban
dari pertanyaan-pertanyaan”.
“Kamu
adalah ia, manusia yang kami nantikan Ethan putra Marsan, engkaulah penyelamat
dunia ini kelak, ku akan menceritakan padamu tentang “cerita tentang Marsan”,
wanita perawan yang melahirkan dirimu Ethan dengarkanlah baik-baik”, seorang
lelaki diantara mereka maju kemudian menceritakan padanya.
Inilah
ia, cerita tentang Marsan .
“”Suatu
malam, malam yang dijanjikan, wanita itu berpeluh didampingi dengan sepupunya
bernama Zariya, mereka mendatangi sebuah gubuk yang didiami oleh Johannes,
malam itu, bintang sangat indah dilangit, cahaya memancar untuk bumi, wanita
itu akan melahirkan seorang anak yang kelak kalian kenal ini, terpujilah apa
yang terjadi pada malam itu.
Jabriel
menyaksikannya dengan menjadi seorang tani gandum, ia mengenakan pakaian
compang-camping memasuki rumah itu, turut dalam prosesi, ia mendengarkan
jeritan pertama bayi itu, hanya berempat saja menyaksikan kelahirannya, Ethan
anak Marsan, tiada berbapak hanya beribu.
Begitu
cepat tersiar kabar, Marsan telah melahirkan, dahulu kehamilannya adalah
pergunjingan sekarang kelahirannya menjadi pujian, karena proses terciptanya
yang tak biasa dikalangan manusia, lahirlah ia seorang lelaki yang kelak
diberikan nama Ethan.
Malam
itu, teranglah bintang dilangit, sejuklah udara di bumi, ialah ibu yang
mengikhlaskan titipan daripada Yang Maha Agung dalam rahimnya, saat itu Yang
Maha Tinggi menunjukkan keajaibannya pada manusia, dengan perantaraan Jabriel,
tumbuhlah benih yang menjadi harapan kemanusiaan, kelak menjadi anak yang
bernama Ethan.
Demikianlah
cerita tentang kelahiran Ethan anak Marsan, proses penciptaannya oleh
penciptanya adalah hal yang sangat luar biasa, bagaimana perawan melahirkan
manusia, Ia yang Maha Tinggi mengutus Jabriel sebagai perantaraannya, Jabriel
berkata “ Hai Marsan, kelak engkau akan mengandung seorang anak manusia, ia nya
akan menjadi teladan diantaranya, maukah kamu menerimanya?”, Marsan menjawab
“Bagaimana aku dapat mengandung sedangkan belum ada seorangpun lelaki
menyentuhku”, Jabriel melanjutkan kata-katanya “Demikianlah, sesungguhnya
semuanya mudah bagi Yang Maha Agung untuk melakukan sesuatu, terjadi maka
terjadilah ia”. Marsan berpeluh pada saat itu, air mengaliri pipinya yang
menjadi pucat, ia meraba perutnya seperti ada sesuatu yang memasuki rahimnya.
Ia dongakkan kepalanya kelangit, hanya seekor merpati yang menjauh yang
terlihat menjadi sangat kecil sampai menghilang dari pelupuk matanya.
Yang
Maha Pencipta memberikan ciptaannya melalui keajaiban, mengapa aku harus heran,
bukannya sudah banyak keajaiban terdahulu sebelum aku, ia kemudian menuntaskan
keheranannya dengan menyandarkan kepalanya pada pohon yang tak jauh dari tempat
duduknya.””
“Demikianlah
kisah tentang Marsan, engkau telah mendengarkan dengan baik bukan? Demikianlah
yang telah terjadi”.
“Tapi
Bapa, aku bukanlah Ethan anak Marsan, aku adalah Ethan, . . . . . . .” ia
memegangi kepalanya, tiba-tiba ia tak dapat mengingat apapun tentang asal
usulnya, ia hanya melihat sesosok bayangan yang telah menyelamatkannya dari
suatu peristiwa bencana. . . . . . . . .
Ribuan Tahun Kemudian . . . . . .
Suatu
ketika, disuatu senja yang indah, sinar
jingga kuning diangkasa, sepasang mata menatap, dipangkuannya benda seperti
kitab, sudah usang, tampak sangat tua, lelaki paruh baya menikmati berakhirnya
hari, air seduhannya telah habis, suara tepukannya kemudian mengantarkan
cangkir kosong menuju dapur.
Siulannya
menutup tirai jendela, atap nya terbuka, kini bintang angkasa menghiasi
langitnya, disebelah ranjangnya tergolek seorang wanita paruh baya juga, putih
bersih kulitnya, hitam terurai rambutnya, terlelap, dipandanginya sambil
sesekali melepaskan pandangannya kedepan, bulan purnama yang sangat indah
terlihat di depan matanya.
Ia
teguk air didalam botol, warnanya kecoklatan pekat, pandangnya menjadi memudar,
ia lepaskan benaknya kelangit, “Aku mencintai dirimu seperti aku sendiri,
apapun telah terlewati kita kan menghadapinya untuk akan datang, ku akan
berjanji”. Wajah itu, wanita yang dikenalnya dahulu saat ia semester ketiga
program sarjana.
Diatas
tanahnya kini berdiri rumah mewah, dengan puluhan penjaga, tentu saja ia bukan
raja, ia hanya manusia biasa, dengan gaji ia bisa menyewa seluruhnya bukan?
Namun tidak demikian, mereka mematuhinya seperti Tuhan, bersujud dan menyembah,
hanya cara saja berbeda dengan nama penghormatan.
Ia
lelap ditidurnya, terlalu banyak alkohol menjadikannya memasuki mimpi yang tak
dapat lagi diaturnya, seperti malam pasrah menantikan mentari ufuk timur,
banyak perubahan dari tahun ketahun sampai ke beberapa ratus tahun kemudian.
#Gunung
Raga
Terlalu banyak pohon yang sangat
besar terletak berjejer rapi menutupi, binatang terjaga sangat luas saling
memangsa dan menunggu kesempatan, matanya menyala, auman terdengar sesekali,
seperti hendak mengusir sesuatu atau menampakkan diri, keadaan sesuatu yang
dianggap ada.
Disana terlihat sesesok manusia,
duduknya bersila, tangannya tengadah kelangit, berucap pada langit tak
berhenti, hujan membasahi rambutnya yang putih, kini telah genap empat puluh
hari ia lakukan hal itu tanpa henti, hanya suaranya saja kini tak terdengar
segarang hari pertama.
Ia menunggu sahabat karibnya,
sahabat yang tak bertemu dengannya begitu lama, dua puluh tiga tahun sejak
perpisahannya, akan bertemu kembali setelah perpisahan.
Pelukannya begitu dekap, saat
perpisahannya, air matanya tak mampu ia tahan, mengucur dari kedua bola
matanya, -
Disini, di tempat buas ini, hanya
beberapa saja manusia tercatat pernah melewati puncaknya, ia salah satu dari
itu, masih menanti, menanti sahabat lamanya.
Inilah waktunya, waktu janji yang
diikrarkan, tepat purnama ketiga belas, ia sanggupi tanpa persyaratan saat
lalu, menunggu untuk suatu pertemuan pastinya tak akan menjemukan, apalagi
perjanjian tanpa ikatan.
Pada
pejam matanya ia dibangunkan oleh sebuah suara.
“Engkaukah
itu Silama, sahabatku, ?, ah, engkau itu saudaraku, telah banyak berubah dirimu,
raut wajahmu, rambutmu yang memutih”
“Ah,
engkau sudah tiba, sahabatku, Jirawa, memangnya kau masih terlihat muda
selalu?”
Suara
tertawa kemudian membahana di hutan yang sangat sepi itu, di situ puncak gunung
Raga.
Gunung
Raga hanyalah salah satu dari ratusan gunung yang tersebar diseluruh penjuru
dunia, gunung ini merupakan rangkaian dari gunung berapi yang masih aktif yang
ada didunia, terakhir kali letusannya memberikan dampak yang sangat luas. Musim
panas menjadi dingin karenanya, matahari tak tampak dalam ribuan tahun saat
lalu, berjuta juta tahun lalu.
“Apa
kabar sahabatku, hingga engkau membawaku ditempat seperti ini dengan waktu yang
telah engkau tentukan sendiri”.
“Yang
Maha Tinggi lah yang telah menentukan semuanya Silama, Dialah yang telah
membawaku kemari, kabar yang aku bawa adalah selalu kegundahan seperti dahulu
yang telah lama kita kenangkan, bukannya engkau juga mengetahuinya, aku dan
kamu juga tak pernah berubah, hahahaha” tawa lepas nya terdengar.
“Kegundahan
mencapai tujuan kesempurnaan kemanusiaan itu dibutuhkan selalu agar hidup ini
berjalan baik sahabatku, aku juga seperti itu, duduklah, mengapa engkau masih
berdiri dengan tongkat yang memincangkan kakimu itu” Silama menjawab dan
mempersilahkan sahabtnya itu untuk duduk disampingnya.
Jirawa
kemudian duduk tepat dihadapan sahabatnya Silama, kemudian menyalakan rokok di
tangannya.
“Semakin
ramai akhir-akhir ini, aku merasakan manusia merasa dirinya orang suci,
bersuara dengan suara lantang dengan kelakuan yang sangat timpang dengan
ucapannya, semakin banyak orang memberikan derma hanya untuk dipandang
sesamanya, akal sehat dituduh sakit jiwa, hendak menolong dengan sebenarnya
mengharapkan pamrih batasannya sungguh hampir tak terlihat jelas sahabatku”
Jirawa membuka dialog secara singkat pada sahabatnya.
“Tuhan
menentukan semuanya sahabatku, itu semua adalah jalannya, apapun ketentuannya
semuanya ia miliki, itu adalah bentuk kepasrahan kepada sesuatu yang Maha di
dalam hidup manusia. Oleh karenanya ia membutuhkan aliran kepercayaan,
bermacam-macam jumlah dan aneka bentuk nya”, Silama menjawab pembukaan dialog
sahabatnya itu.
“hmmm,
yah memang seperti itu, bagaimana dengan pengantar suratku yang telah dikirimkan
padamu?, sudahkah engkau memahami seluruhnya? Itu juga salah satu kegundahanku,
mengertikah engkau sahabatku?” Jirawa menanyakan kegundahannya, suara geluduk
terdengar sesekali dari puncak.
“Ya,
kota itu, kota impian, perebutan, perdamaian, permusuhan, persinggahan,
keabadian, sangat dipertaruhkan, persamaan, perbedaan lahir dari sana, tujuan
utama, tujuan mulia, kejaayaan lahir padanya, aku akan menceritakan sedikit
yang aku ketahui tentang itu”.
“Saat
ku melintasinya, tembok seluruhnya dilapisi, kepercayaan pada yang Maha Tinggi
dibesarkan menjadi tempat tujuan, tembok hampir seluruhnya dilapisi tembok tu
sekelilingnya, aku melihat, jauh didalam sana hati mereka adalah satu,
kepercayaan dari jalan yang berbeda-beda, mereka yakin perbedaan rahmat
terbesar dari yang Maha Tinggi, tapi ajaran kepercayaan pastilah terbagi,
begitulah sejarah kota suci itu
terbentuk yang terbaca lewat manuskrip kuno”.
“Kemudian
anak-anak mereka tumbuh berbeda, saling mendendam, saling membunuh, saling
menghujat, kota itu ribuan tahun lamanya di bangun berdarah-darah, Kota suci
itu, bernama Tanah Tinggi Aswa” suara Silama terhenti, sembari mengingat hal
yang telah pernah ia lewati sebelumnya.
“Tanah
tinggi Aswa Silama?” Tanya Jirawa penuh keheranan.
“Ya,
Jirawa, itulah nama yang diberikan oleh para pendahulu mereka, kota itu
ditinggali dua suku besar, yakni Suku Isra
dan Suku Tina. Kota nya para
orang-orang suci, selalu ditinggikan oleh mereka-mereka yang memiliki aliran
kepercayaan. Itulah takdir Tuhan yang diberikan dari maha Tinggi kepada mereka,
nasib mereka padahal dapat hidup dengan kedamaian”
“Takdir
Silama, Takdir iu bukankah berasal dari ketakutan dan kepasrahan, nasib berasal
dari keseungguhan dan keberanian, selalu meratapi takdir tidaklah baik, terlalu
menaruh penuh kepada nasib juga tidak baik, harusnya lah menyeimbangkan”
“Hmmm,
baiklah sahabatku, ku kira engkau telah memahaminya dengan baik, demikianlah
cerita yang kuketahui tentang tanah perjanjian itu, tapi aku pernah membaca
dari manuskrip kuno, kalau nanti disuatu saat, Tanah tinggi Aswa akan berdamai
di bawah pimpinan seseorang yang merupakan keturunan dari mereka, tapi nama itu
tak disebut dalam manuskrip itu” Silama kemudian berdiri dari duduknya, merapikan
baju lusuhnya dan meraih tongkat yang sedari tadi ia tancapkan didekatnya.
“Akan
kuceritakan padamu kisah yang luar biasa, pernah aku saksikan sendiri dan aku
ikuti dari mulut ke mulut, dari mata ke mata yang mereka dengar dan apa yang
mereka lihat, kisah ini sekarang hanya melegenda di benak-benak mereka” Silama
berjalan pelan yang kemudian diikuti oleh Jirawa disampingnya.. . . . . . .
#Ujung
Menikmati kedamaian, gelombang cinta
saling bertalian mempererat kasih dan sayang, bencana datangnya dari diri
sendiri, lalu kita maki sendiri.
Siang ini akan ada pengumuman titah
dari istana Agung Darma, telah dari
pagi orang-orang mulai berdatangan menuju alun-alun, saat ini telah hadir
ribuan orang yang ingin menyaksikan raja mereka yang baru, memang belum lenyap
duka kerajaan ini begitu juga dengan jutaan rakyatnya tentang wafatnya raja
mereka dua minggu lalu, mereka kini hadir didasari keingintahuan siapakah yang akan menggantikan rajanya
terdahulu yang terkenal sangat bijaksana. Tiga jam dari sekarang mereka akan
segera mengetahuinya.
Tiga minggu sebelumnya, . . . . . .
. . . . . . . . . . .
“Kalian dengar kan? Raja tak
mengikuti hasil keputusan sidang para nabi, ia bilang tak ada baiknya mengikuti
hasil keputusan sidang para nabi dan memperbaharui kitabnya, semakin lama
semakin sedikit mengikuti keputusannya, bahkan kalian tau sendiri, patih Raksana
kini tak patuh padanya?” Gubernur Utara
menuturkan pada Gubernur lainnya, terlihat hadir disana membentuk lingkaran,
masing-masing, Gubernur Barat, Gubernur Timur, Gubernur Barat Laut, Gubernur
Timur Laut.
“Ya, aku mendengar, sudah sampai
berita itu diseluruh kerajaan ini, kini telah muncul pergolakan yang luar
biasa, karena dasar dari negeri ini dibangun orang-orang yang religious, tentu saja mereka menolaknya
dengan keras, bukan begitu Gubernur Timur, di daerah mu terdapat sangat banyak
para pendeta-pendeta dari kepercayaan Santi, bahkan itu tempat lahirnya, mereka
juga memiliki orang suci yang menjadi perwakilannya, Nabi Santo?”. Gubernur
Barat menanggapi dan melontarkan pertanyaan pada Gubernur Timur.
“Hmmmh” Gubernur Timur mendeham
sambil mengenyitkan dahinya, “Memang benar, bahkan sebagian besar masyarakatku
sudah tak menginginkan lagi menjadi bagian dari kerajaan, suara-suara berpisah
semakin sering terdengar, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa, raja telah
menunjukkan menjadi wakilnya, aku harus patuh dan taat padanya”. Gubernur Timur
membetulkan posisi duduknya, membenarkan posisi tangannya.
“Aku mengikuti apapun langkah yang
akan engkau pilih kakanda ku, selalu ku akan berada di belakangmu” penuh
kepercayaan Gubernur Timur Laut menyatakan kesanggupannya kepada kakandanya
Gubernur Timur.
“Kita bisa berdiri sendiri
saudaraku, apa yang engkau risaukan, sumber daya alam sangat banyak pada
wilayahmu, tentu saja engkau dapat menjadi Raja nantinya, tentu saja dengan
kami-kami ini akan menjadi menteri-menterimu, sudahlah, apa lagi yang engkau
takutkan, kamu akan mendapatkan kekuasaan, kekayaan, kehormatan, ayolah
saudaraku, apalagi telah kau dengarkan suara dari rakyatmu sendiri”. Kali ini
Gubernur Barat angkat bicara
“Benar, kami akan membantumu saudaraku
jika engkau membutuhkan kami” Suara Gubernur Barat Laut menambahi.
“Sebentar, aku dengar juga kalau
Gubernur Tenggara, Gubernur Selatan, Gubernur Barat Daya telah memberikan surat
pengunduran dirinya pada raja, sejauh ini, berita yang aku dengar sudah terjadi
pertumpahan darah disana, antara orang yang mendukung keputusan raja dan yang
tidak mengikuti keputusan raja, ketiga Gubernur tadi mundur karena merasa tak
mampu lagi mengurusi wilayahnya sendiri” sambil menunjukkan surat kabar dengan
Headline “tiga gubernur mundur, kerajaan diambang hancur” Gubernur Utara
melanjutkan omongannya.
“Tiga Gubernur itu telah mundur,
bukannya mereka juga telah diangkat dan ditunjuk oleh raja, mereka
mengingkarinya bukan, sah-sah saja, memang sudah tak bisa mau bagaimana, namun
mereka tidak berani untuk memisahkan diri, untuk itulah engkau ku undang
saudaraku Gubernur Timur, dan engkau saudaraku Gubernur Timur Laut, agar kita
dapat melangkah bersama membuat kerajaan baru, harapan baru di kerajaan yang
sudah tidak tenang ini, Patih Reksana juga menyetujui putusan mu jika
memisahkan diri dari kerajaan ini, beliau malah sangat menyarankan”
“Tapi tidak semudah itu Gubernur
Utara, aku telah mengucapkan sumpah kepada Yang Maha Tinggi untuk selalu setia
dan patuh pada sang raja bagaimana mungkin aku akan melakukan pengkhianatan”
keraguan mulai muncul dari ucapan Gubernur Timur, disampingnya Gubernur Timur
Laut memandangi kakandanya.
“Untuk itulah kami ada disini, untuk
melancarkannya, untuk membantumu saudaraku, bukankah dibolehkan kita memisahkan
diri dari kerajaan jika raja sudah tidak mendengarkan apa yang menjadi aspirasi
dari rakyatnya” bujukan diilakukan Gubernur Barat, diikuti senyuman dari
Gubernur Utara dan Gubernur Barat Laut.
“Baiklah, berilah waktu orang tua
ini untuk berpikir, tiga minggu lagi ku akan memberikan kabar pada kalian
semua, mari adikku, antarkan kakandamu ini menuju kereta, kita akan pulang” Ia
meletakkan padangannya pada adiknya, adiknya yang selalu setia padanya Gubernur
Timur Laut.
Perjalanan pulangnya, di dalam
kereta yang berjalan, di sela dengus kuda yang semakin memburu “ Kakanda
menaggapi serius usulan dari Gubernur Utara dan lainnya tadi “ ia bebrbicara
pada kakaknya sambil memandangi
kekalutan yang terlihat samar di matanya.
“Entahlah adikku, tapi kata-kata
mereka ada benarnya juga, toh juga kita memiliki sumber daya melimpah, tentu
saja rakyat kita akan semakin makmur, dapat mencicipi hasiol buminya sendiri
tanpa berbagi dengan lainnya, dapat berjuang bersama-sama”. Gubernur Timur Laut
menjawab pertanyaan adiknya sambil melihat jemdela.
“Tapi kakanda, bukankah kita telah
bersumpah dan kerajaan ini warisan leluhur kita untuk dititipkan pada kita”
seolah tak percaya dengan jawaban dari kakandanya Gubernur Timur Laut menatap
kakandanya penuh keseriusan.
Di luar sana, terlihat banyak orang
turun kejalan, sekali-kali dilewati mereka berdua, kusir kereta masih terus
melaju, dengu kuda semakin memburu, jarak masih sangat jauh. “ Kita lihat saja
nanti, biarkan kakandamu ini berpikir”, Gubernur itu memanggil es dalam kotak
dan menuangkannya, meminumnya,
“Aku selalu senang jika ke wilayah
utara, es ini selalu sangat enak di minum kapan saja, minumlah adikku, agar
berhenti engkau memandangiku dengan
tatapan seperti itu”.
Kereta kencana terus berjalan,
pean-pelan menjauh, Kota Hitam dan Putih tempat raja berada sudah dilewati
tanpa disinggahi. Istana Agung Darma
terlihat sekilas saja, penjaga tak ada yang mengenalinya, apalagi peduli.
*Dalam
Tahap Penyelesaian